Oleh: M. Afthon Lubbi (Pengajar di SMP-SMA Almanar Azhari Depok)

Sejak 1964, manusia menapaki babak baru dalam peradaban. Mulai saat itu, penduduk bumi sudah mampu berbicara kepada siapapun di belahan dunia manapun secara langsung dan serentak (Emil Doviat, 1967). Melalui satelit, berita pendaratan manusia di bulan, kunjungan Soeharto ke Amerika Serikat, pembunuhan massal di Libanon dapat disaksikan langsung di seluruh bumi (Jalaludin Rahmat, 1985).

Jauh-jauh hari, Doviat memberitahu masyarakat akan kecemasannya. Ia khawatir jika perkembangan media massa dikuasai oleh segelintir orang untuk kepentingannya sendiri, sehingga jutaan manusia kehilangan kebebasannya. Dalam teori hegemoni Antonio Gramsci, media digunakan oleh penguasa untuk memanipulasi pengetahuan rakyatnya. Rakyat yang percaya, ia sudah terhegemoni.

Namun kondisi ini berubah. Tercatat ketika Presiden Soeharto lengser pada 1998, ada peran “dunia lain” yang mengerahkan pergerakan mahasiswa di seluruh penjuru negeri. Mereka menggunakan internet untuk merencanakan gerakan dan mengukur dukungan internasional dalam membangun demontrasi nasional yang akhirnya menumbangkan rezim (Krishna Sen dan David T. Hill, 2001). Kecemasan Doviat terbalik, kekuasaan 32 tahun runtuh oleh generasi awal pengguna internet, masyarakat digital, rakyat yang tidak mau terhegemoni oleh penguasa.

Yang terbaru, pergerakan rakyat yang menggunakan internet adalah aksi 212 dan sejenisnya. Dalam hitungan detik, pesan berantai dari Jakarta dapat dikirim ke seluruh dunia. Kini dalam hal media massa, rakyat dan penguasa memiliki kekuatan yang hampir seimbang. Dalam alam “demokrasi milenial” semua bisa terjadi.

Namun permasalahan yang kini perlu diperdebatkan adalah siapa yang boleh berbicara dan siapa yang bisa didengarkan. Jika dalam suatu ruang kelas belajar semua berbicara, lantas siapa yang mendengarkan. Inilah komunikasi massa saat ini, semua warga menjadi pribumi digital yang terus-menerus berbicara siang dan malam. Undang-undang ITE ibarat traffic lights yang selalu dilanggar oleh para pengendara mobile phone. Hingga sekalipun pemerintah membuat tim siber untuk menertibkan warga maya, akan dianggap sebagai musuh untuk dilawan.

Inilah masyarakat digital yang oleh Don Tapscott dalam bukunya Grown Up Digital dipuji sebagai generasi yang IQ-nya semakin cerdas. Tapscott membalas argumen yang mengatakan bahwa seringnya penggunaan media digital akan membuat anak-anak menjadi bodoh (Don Tapscott, 2009). Artinya, Tapscott setuju bahwa semakin sering kita menggunakan internet, maka kita akan semakin cerdas.

Kita perlu skeptis, apakah betul internet telah meningkatkan kecerdasan umat manusia secara umum? Nyatanya, menurut Tapscott sendiri, IQ manusia telah meningkat sejak lama, sebelum perang dunia II. Ada perubahan yang mendalam dan terus menerus dalam aspek masyarakat yang meningkatkan nilai IQ manusia, bukan karena teknologi tertentu. Nyatanya, penggunaan internet menyebar luas baru dalam waktu sekitar lima belas tahun terakhir.

Untuk menjawabnya, kita uji pujian Tapscott kepada masyarakat digital di atas dengan hasil penelitian lainnya. Nicholas Carr mencatat nilai-nilai tes kecerdasan siswa SMP di Amerika Serikat tidak meningkat selama periode 1999 sampai 2008, suatu masa ketika penggunaan internet di rumah-rumah dan sekolah-sekolah meningkat. Nilai matematika turun satu poin, kemampuan membaca turun 3,3 %, keterampilan menulis turun lebih tajam 6,9%. Bahkan pada siswa kelas dua belas untuk tes tiga macam kegiatan membaca -menjalankan tugas-mengumpulkan data-dan pengalaman sastra- jatuh nilainya antara 1992 hingga 2005. Kemampuan membaca sastra mengalami penurunan tertinggi, 12 % (Nicholas Carr, 2011).

Masih menurut catatan Carr, penelitian di Inggris pada 2009 menunjukan bahwa IQ para remaja turun dua poin antara tahun 1980 hingga 2008. Padahal remaja di negeri ini adalah salah satu yang tertinggi di dunia dalam pengguanaan internet kecepatan tinggi dan penggunaan smartphone. Artinya, internet tidak menambah kecerdasan mereka.

Bagi generasi milenial, menghindari internet secara mutlak adalah suatu hal yang mustahil. Maka kita perlu mempersiapkan masa depan mereka, agar mereka memiliki imunitas digital untuk memilih siapa yang pantas didengarkan di alam maya.